Lukas 4:38-44
Injil, dalam bahasa Yunani euangelion, berarti kabar baik atau kabar sukacita. Berangkat dari makna ini, kita mengetahui serta mengimani, Injil pasti membawa sukacita dan kebaikan bagi setiap pembacanya. Di sana berisikan setiap cerita kebaikan dan kasih Allah dalam berbagai rupa, baik yang menyapa dengan lembut maupun yang menegur dengan keras. Dimana semuanya itu menumbuhkan semangat iman kita untuk semakin dewasa dalam Kristus Yesus. Dan bagaimana sikap kita terhadap Injil dan sediakah kita memberitakannya?
Hari ini kita kembali berjumpa dengan kabar sukacita yang menguatkan kita. Sukacita bersama Simon Petrus dimana ibu mertuanya disembuhkan oleh Tuhan Yesus. Kita tidak akan berfokus kepada proses kesembuhannya, tetapi dampak besar mujizat bagi kehidupan sekeliling ibu mertua Petrus. Ketika orang banyak menyaksikan dan mendengar peristiwa itu, dikatakan Penulis Injil Lukas, ketika matahari terbenam semua orang membawa kepada Yesus orang-orang yang menderita berbagai macam penyakit, yang butuh pertolongan-Nya. Dan Kristus pun menyembuhkan dengan menumpangkan tangan-Nya atas mereka (Luk. 5:40). Artinya, kesembuhan yang dinyatakan oleh Kristus bukan hanya sekedar kesembuhan, tetapi di sana ada berkat sukacita dan pengutusan kepada orang banyak untuk mewartakan sukacita itu dalam kehidupannya. Itulah yang menjadi penegasan Yesus ketika orang banyak menahannya untuk tetap tinggal, “Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus.” (Luk. 5:43) Injil bukan disimpan untuk kepentingan spiritualitas pribadi atau kelompok tertentu, Injil dinyatakan agar ia diberitakan terus di sepanjang waktu dan di segala tempat.
Kembali kepada pertanyaan di atas, bagaimana sikap kita terhadap Injil dan sediakah kita memberitakannya? Pertanyaan pertama sangat jelas jawabnya, seperti yang Kristus tegaskan, Injil yang membawa sukacita bagi kita harus dibagikan ke sekeliling hidup kita. Sediakah kita? Idealnya, iya kita bersedia. Ketika kita bersedia untuk memberitakan Injil, kita sadar akan konsekuensi dan resiko yang bakal kita hadapi. Sebagaimana Kristus sendiri, meski Ia ditolak oleh masyarakat kota asalnya sendiri untuk memberitakan Injil, Ia tetap konsisten menyatakannya dalam tindakan maupun pengajaran. Konsistensi dalam kekuatan kasih Allah inilah yang menjadi kunci kita memberitakan Injil dalam berbagai situasi. Kabar sukacita itu tak boleh berhenti dikabarkan, ia memberi semangat saat penerimanya bersukacita, ia pun memberi pengharapan serta kekuatan saat penerimanya berada dalam titik paling bawah kehidupannya. Beritakan Injil, Tuhan Yesus menolong! Amin! (septorang)